(BALI) -- Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan deteksi 1 juta kasus Tuberkulosis (TB) pada 2025. Penemuan lebih banyak kasus ini untuk mengejar target eliminasi TBC pada 2030. Menurut data terbaru, Indonesia merupakan negara dengan angka TBC nomor dua tertinggi di dunia.
“Target kami tahun depan, kita bisa menemukan sekitar 1 juta kasus. Dari 1.060.000 yang ditemukan, saya ingin 1 jutanya kita diagnosis,” kata Menkes dalam konferensi pers Pertemuan Tingkat Tinggi Inovasi Tuberkulosis (High Level Meeting TBC Innovation) yang digelar di Bali pada Senin (11/11).
Untuk mencapai target ambisius tersebut, pemerintah telah menyusun 3 inovasi guna mendorong pemerataan akses pengobatan, peningkatan kesadaran masyarakat, serta pemanfaatan teknologi untuk diagnosis lebih cepat dan akurat.
Inisiatif pertama adalah meningkatkan dan mengembangkan sistem surveilans. Menkes Budi mengatakan, ke depan metode skrining TBC akan diperluas. Tidak hanya menggunakan alat TCM, yang juga digunakan untuk pemeriksaan diabetes, tetapi juga alat PCR yang sebelumnya dipakai untuk tes COVID-19.
“Skrining TBC itu susah karena harus diambil dari batuk, sekarang dengan teknologi PCR, lagi kita coba di Jawa Barat di-swab bukan di hidung, tapi di tenggorokan. Jadi, nanti kita swab lalu kita tes PCR sama seperti COVID-19. Itu inovasi yang sedang kita coba,” kata Menkes.
Selain menggunakan alat PCR, Menkes juga sedang menguji teknologi terbaru USG, yang biasanya digunakan untuk memeriksa kondisi janin dan deteksi dini kanker payudara. Teknologi ini akan dicoba untuk identifikasi pneumonia atau TBC.
“Ternyata sekarang dengan dibantu AI, (USG) bisa untuk identifikasi pneumonia atau TBC. Ini sekarang sedang kita coba juga, karena USG kita udah banyak,” imbuhnya.
Untuk mendukung inisiatif tersebut, pemerintah juga menyusun inisiatif kedua, yakni memperkuat aspek terapeutik atau pengobatan. Menkes Budi mengatakan, masalah pengobatan TBC di Indonesia adalah banyaknya pasien yang tidak melakukan pengobatan dan tidak menyelesaikan pengobatan.
Masalah ini, lanjutnya, disebabkan oleh durasi pengobatan TBC yang cukup lama, yakni sekitar 6 bulan. Untuk itu, Menkes mendorong penelitian dan pengembangan regimen pengobatan yang mampu mempercepat penyembuhan pasien TBC.
“Untuk obat, saya tertarik (Indonesia) ikut clinical trial yang sekali suntik. Sekarang kan minum obatnya harus 6 bulan dan banyak. Kalau bisa diganti dengan sekali suntik, atau juga alternatif keduanya obatnya diturunin dari 6 bulan ke 1 bulan. Itu kita mau terlibat,” ungkap Menkes.
Inisiatif ketiga adalah pengembangan vaksin TBC. Menkes menyebutkan, Indonesia telah terlibat dalam clinical trial vaksin TBC M72, tetapi tingkat keberhasilannya sangat rendah. Ke depannya, Menkes mengatakan, Indonesia tertarik untuk mengikuti clinical trial berbagai jenis vaksin TBC lainnya.
“Kombinasi vaksin dan pengobatan bila kita lakukan dengan baik bisa menjadi game charger yang sukses. Mari Indonesia ikut berpartisipasi dalam clinical trial di banyak jenis vaksin. Jadi, kalau gagal satu bisa dicoba yang lainnya,” ucapnya.
Dengan target deteksi 1 juta kasus TBC pada 2025, Indonesia semakin dekat untuk mengatasi salah satu tantangan kesehatan terbesar di dunia. Menkes mengimbau semua pihak, baik pemerintah, tenaga medis, masyarakat, dan sektor swasta, untuk bersinergi dalam upaya mewujudkan Indonesia bebas TBC pada 2030.
0 Komentar